Iklan

Friday, April 27, 2012

Segenggam Iman di Rumah



Apa yang salah pada Nabi Nuh ‘Alaihissalam (AS)? Ia seorang Nabi sekaligus utusan Allah ‘Azza wa Jalla. Imannya jangan ditanya, sudah tentu sangat terjaga. Tidak mungkin ada Nabi yang imannya meragukan. Hidupnya selalu dalam petunjuk karena Allah Ta’ala sendiri yang membimbingnya. Akhlaknya? Pasti mulia.

Seorang Nabi sudah jelas amat kuat penjagaannya dari hal-hal yang meragukan (syubhat). Apalagi dari yang haram. Tetapi apakah semua kemuliaan itu menjadikan anaknya berada dalam barisan orang-orang yang beriman? Tidak. Justru sebaliknya, putra Nabi Nuh menjadi pendurhaka. Hingga detik-detik terakhir hidupnya, ia masih diseru oleh ayahnya –Nabi Nuh—untuk masuk dalam barisan orang beriman. Tetapi ia menolak.

Marilah kita kenang percakapan Nabi Nuh dengan putranya sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an:

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil:

‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’

“Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’

Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.’

Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud [11]: 42-43).

Apa yang bisa kita renungkan dari ayat tersebut? Banyak hal. Salah satunya adalah pelajaran berharga betapa kita tidak kuasa untuk menggenggam jiwa anak-anak kita sendiri.

Betapa pun amat besar keinginan kita untuk menjadikan anak-anak kita termasuk golongan orang beriman, tetapi kita tidak punya kekuatan untuk menggerakkan jiwa mereka. Kita hanya bisa mempengaruhi mereka, mendorong mereka dan menyeru mereka kepada kebaikan. Kita hanya dapat bermunajat kepada Allah Ta’ala yang jiwa mereka dalam genggaman-Nya.

Dari ayat ini kita juga belajar tentang tulusnya cinta seorang ayah kepada anak. Betapa pun anaknya telah melakukan kedurhakaan yang nyata, seorang ayah tetap masih memiliki tabungan harapan yang sangat besar agar anaknya kembali kepada jalan takwa.

Betapa pun tampaknya sudah hampir tak mungkin, seorang ayah masih akan berusaha memanfaatkan detik-detik terakhir kesempatannya untuk mengingatkan, menasehati, dan menyelamatkan anaknya. Meskipun telah jelas kekufuran melekat kuat pada anaknya, masih ada harapan yang besar agar ia kembali ke jalan Allah. Masih ada doa-doa yang terucap untuk memohon pertolongan-Nya.

Ada yang perlu kita renungkan. Ada yang perlu kita telusuri untuk menemukan jawaban.

Siapkan Calon Ibu Saleh

Lalu apa sebabnya iman tercerabut dari rumah utusan Allah ini? Istri yang tidak memiliki kendali iman dalam dirinya. Allah Ta’ala jadikan istri Nabi Nuh (juga istri Nabi Luth) sebagai contoh bahwa iman tak bisa ditegakkan, anak-anak tak bisa diharapkan, kebaikan tak bisa hadir di rumah kita jika istri rapuh imannya dan lemah pendiriannya.

Segigih apa pun kita mendidik anak, awalnya harus menyiapkan istri kita untuk mampu menjadi ibu yang belaian tangannya dipenuhi pengharapan terhadap pahala dari Allah Ta’ala; yang tutur katanya dipenuhi keinginan untuk menjadikan anak-anak mencintai dien; yang doanya menembus kegelapan malam demi mengharap pertolongan Allah Ta’ala agar hati anak-anaknya diterangi oleh iman yang kuat di atas akidah yang lurus.

Karenanya, kunci pertama melahirkan anak-anak saleh adalah menyiapkan calon ibu bagi anak-anak kita. Kunci untuk mencetak generasi yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan mencintai istri kita sepenuh hati. Sebab dialah yang akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anak kita. Bukan sekadar sebagai ibu kandung yang melahirkan dan sesudah itu orang lain yang mengurus anak-anaknya.

Sesungguhnya, setiap anak kita memerlukan ‘tiga ibu’. Setiap bapak harus menjamin bahwa anak-anaknya memiliki tiga ibu, yakni ibu kandung, ibu susu yang memberi makan kepada bayinya dengan air susunya sendiri (bukan susu sapi), dan ibu asuh yang menjadi madrasah pertama bagi anak kita.

Seyogyanya, tiga fungsi ibu ini berada dalam satu pribadi, yakni istri yang melahirkan anak-anak kita. Tetapi sekiranya tidak bisa, masih ada jalan yang Allah Ta’ala berikan, yakni mengangkat ibu susuan dengan segala kehormatannya. Adapun pengasuhan, ada berbagai kewajiban yang harus kita tunaikan.

‘Alaa kulli haal, mari kita renungkan kembali bahwa berpayah-payah dalam berdakwah tidak cukup untuk mengantarkan anak-anak kita agar memiliki iman yang kuat dan Akidah yang lurus.

Khusyuknya doa kita tidak cukup untuk menjadikan anak kita ahli ibadah. Penuhnya luka di sekujur badan karena memperjuangkan agama Allah ‘Azza wa Jalla, yakni al-Islam ini, tidak cukup untuk melahirkan generasi mujahid yang siap mengorbankan hidup dan hartanya untuk menolong agama Allah.

Begitu pula banyaknya ilmu yang kita dapat melalui usaha sungguh-sungguh, tidak cukup untuk membawa anak kita dekat dengan agama. Apalagi jika bekal kita sekedar power point. Bukan ilmu yang dikejar dengan penuh kesungguhan.

Lalu apa yang menjadikan cukup?
Istri kita; apakah hatinya dipenuhi iman atau disesaki keinginan mengejar dunia?
Istri kita; apakah orientasi hidupnya untuk mengejar akhirat ataukah mendesak-desak kita untuk bersibuk mendakwahkan agama demi merebut dunia?

Jika hidup kita dipenuhi kegelisahan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi, tetapi istri terlepas dari iman, maka sulit bagi kita untuk berharap akan lahirnya anak-anak saleh yang mendoakan sesudah kita tiada.

Mungkin ada yang mengundang orang untuk mendoakan kita, tetapi mereka tidak ikut berdoa. Sementara kesalehan tidak melekat dalam diri mereka. Na’udzubillahi min dzaalik.

Mari kita ingat firman Allah Ta’ala tentang istri yang durhaka, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (At-Tahriim [66]: 10)

Dalam keadaan berselisih iman, bisa saja istri tetap cinta sepenuh hati. Bukankah sudah banyak contoh seorang istri yang tetap setia kepada suami meskipun telah nyata durhakanya kepada Allah? Ini berarti cinta saja tidak cukup.

Beberapa pendapat kata-kata untuk istri
Jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa berat hati kalau hanya untuk sekedar mencuci pakaian suami.

Jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa terbebani kalau hanya untuk sekedar menyediakan sarapan buat suami.

Jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa sungkan diri kalau hanya untuk sekedar memasangkan kaos kaki suami.

Jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa kelu lidah kalau hanya untuk sekedar mendoakan suami saat bekerja.

Jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa pelit kalau hanya untuk sekedar tersenyum menyambut kepulangan suami dari kerja.

Jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa rendah diri kalau hanya untuk sekedar mencium tangan suami.

Dan jika sudah bersuami nanti,
► Janganlah engkau merasa risih kalau hanya untuk sekedar merias diri untuk suami.

Karena,

Di situlah sebenarnya ladang-ladang pahala tersembunyi yang bisa Ukhty gali.

Di situlah sebenarnya jalan bagi Ukhty untuk menjadi seorang bidadari dunia dan akhirat.

No comments:

Post a Comment